UNITED4D - Cerita kali ini datang dari sebuah kisah nyata yang saya alami dengan begitu tak terlupakan dan kali ini akan saya bagikan kepada anda semua untuk pembaca setia dari Gesekbasah dan sebagai Pencinta dari Konten Dewasa Atau cerita Seks.
Baca Juga :
Menjadi Pasangan Seks yang Pertama Bagi Temenku yang Sexy
Cerita ini berawal dari Sesaat lamanya aku hanya berdiri di depan pintu gerbang sebuah rumah mewah berarsitektur gaya Jawa kuno. Hampir separuh bagian rumah di depanku itu adalah terbuat dari kayu jati tua yang super awet. Di depan terdapat sebuah pendopo kecil dengan lampu gantung kristalnya yang antik. Lantai keramik dan halaman yang luas dengan pohon-pohon perindangnya yang tumbuh subur memayungi seantero lingkungannya.
Aku masih ingat, di samping rumah berlantai dua itu terdapat kolam ikan Nila yang dicampur dengan ikan Tombro, Greskap, dan Mujair. Sementara ikan Geramah dipisah, begitu juga ikan Lelenya. Dibelakang sana masih dapat kucium adanya peternakan ayam kampung dan itik. Tante Ami memang seorang arsitek kondang dan kenamaan.
Enam tahun aku tinggal di sini selama sekolah SMU sampai D3-ku, sebelum akhirnya aku lulus wisuda pada sebuah sekolah pelayaran yang mengantarku keliling dunia. Kini hampir tujuh tahun aku tidak menginjakkan kakiku di sini. Sama sekali tidak banyak perubahan pada rumah Tante Ami . Aku bayangkan pula si Lina yang dulu masih umur lima tahun saat kutinggalkan, pasti kini sudah besar, kelas enam SD.
Kulirik jarum jam tanganku, menunjukkan pukul 23:35 tepat. Masih sesaat tadi kudengar deru lembut taksi yang mengantarku ke desa Kebun Agung, sleman yang masih asri suasana pedesaannya ini. Suara jangkrik mengiringi langkah kakiku menuju ke pintu samping. Sejenak aku mencari-cari dimana dulu Tante Ami meletakkan anak kuncinya. Tanganku segera meraba-raba ventilasi udara di atas pintu samping tersebut. Dapat. Aku segera membuka pintu dan menyelinap masuk ke dalam.
Sejenak aku melepas sepatu ket dan kaos kakinya. Hmm, baunya harum juga. Hanya remang-remang ruangan samping yang ada. Sepi. Aku terus saja melangkah ke lantai dua, yang merupakan letak kamar-kamar tidur keluarga. Aku dalam hati terus-menerus mengagumi figur Tante Ami . Walau hidup menjada, sebagai single parents, toh dia mampu mengurusi rumah besar karyanya sendiri ini. Lama sekali kupandangi foto Tante Ami dan Lina yang di belakangnya aku berdiri dengan lugunya. Aku hanya tersenyum.
Kuperhatikan celah di bawah pintu kamar Lina sudah gelap. Aku terus melangkah ke kamar sebelahnya. Kamar tidur Tante Ami yang jelas sekali lampunya masih menyala terang. Rupanya pintunya tidak terkunci. Kubuka perlahan dan hati-hati. Aku hanya melongo heran. Kamar ini kosong melompong. Aku hanya mendesah panjang. Mungkin Tante Ami ada di ruang kerjanya yang ada di sebelah kamarnya ini.
Sebentar aku menaruh tas ransel parasit dan melepas jaket kulitku. Berikutnya kaos oblong Jogja serta celana jeans biruku. Kuperhatikan tubuhku yang hitam ini kian berkulit gelap dan hitam saja. Tetapi untungnya, di tempat kerjaku pada sebuah kapal pesiar itu terdapat sarana olah raga yang komplit, sehingga aku kian tumbuh kekar dan sehat.
Tidak perduli dengan kulitku yang legam hitam dengan rambut-rambut bulu yang tumbuh lebat di sekujur kedua lengan tangan dan kakiku serta dadaku yang membidang sampai ke bawahnya, mengelilingi pusar dan terus ke bawah tentunya. Air. Ya aku hanya ingin merasakan siraman air shower dari kamar mandi Tante Ami yang bisa hangat dan dingin itu.
Aku hendak melepas cawat hitamku saat kudengar sapaan yang sangat kukenal itu dari belakangku, “Anju ..? Kaukah itu..?”
Aku segera memutar tubuhku. Aku sedikit terkejut melihat penampilan Tante Ami yang agak berbeda. Dia berdiri termangu hanya mengenakan kemeja lengan panjang dan longgar warna putih tipis tersebut dengan dua kancing baju bagian atasnya yang terlepas. Sehingga aku dapat melihat belahan buah dadanya yang kuakui memang memiliki ukuran sangat besar sekali dan sangat kencang, serta kenyal. Aku yakin, Tante Ami tidak memakai BH, jelas dari bayangan dua bulatan hitam yang samar-samar terlihat di ujung kedua buah dadanya itu. Rambutnya masih lebat dipotong sebatang bahunya. Kulit kuning langsat dan bersih sekali dengan warna cat kukunya yang merah muda.
“Ngg.., selamat malam Tante Ami … maaf, keponakanmu ini datang dan untuk berlibur di sini tanpa ngebel dulu. Maaf pula, kalau tujuh tahun lamanya ini tidak pernah datang kemari. Hanya lewat surat, telpon, kartu pos, e-mail.., sekali lagi, saya minta maaf Tante. Saya sangat merindukan Tante..!” ucapku sambil kubiarkan Tante Ami mendekatiku dengan wajah haru dan senangnya.
“Ouh Anju … ouh..!” bisik Tante Ami sambil menubrukku dan memelukku erat-erat sambil membenamkan wajahnya pada dadaku yang membidang kasar oleh rambut.
Aku sejenak hanya membalas pelukannya dengan kencang pula, sehingga dapat kurasakan desakan puting-puting dua buah dadanya Tante Ami .
“Kau pikir hanya kamu ya, yang kangen berat sama Tante, hmm..? Tantemu ini melebihi kangennya kamu padaku. Ngerti nggak..? Gila kamu Anju ..!” imbuhnya sambil memandangi wajahku sangat dekat sekali dengan kedua tangannya yang tetap melingkarkan pada leherku, sambil kemudian memperhatikan kondisi tubuhku yang hanya bercawat ini.
Tante Ami tersenyum mesra sekali. Aku hanya menghapus air matanya. Ah Tante Ami …
“Ya, untuk itulah aku minta maaf pada Tante…”
“Tentu saja, kumaafkan..” sahutnya sambil menghela nafasnya tanpa berkedip tetap memandangiku, “Kamu tambah gagah dan ganteng Anju . Pasti di kapal, banyak crew wanita yang bule itu jatuh cinta padamu. Siapa pacarmu, hmm..?”
“Belum punya Tan. Aku masih nabung untuk membina rumah tangga dengan seorang, entah siapa nanti. Untuk itu, aku mau minta Tante bikinkan aku desain rumah…”
“Bayarannya..?” tanya Tante Ami cepat sambil menyambar mulutku dengan bibir tipis Tante Ami yang merah.
Aku terkejut, tetapi dalam hati senang juga. Bahkan tidak kutolak Tante Ami untuk memelukku terus menerus seperti ini. Tapi sialnya, batang kemaluanku mulai merinding geli untuk bangkit berdiri. Padahal di tempat itu, perut Tante Ami menekanku. Tentu dia dapat merasakan perubahan kejadiannya.
“Aku… ngg…”
“Ahh, kamu Anju . Tante sangat kangen padamu, hmm… ouh Anju … hmm..!” sahut Tante Ami sambil menerkam mulutku dengan bibirnya.
Aku sejenak terkejut dengan serbuan ganas mulut Tante Ami yang kian binal melumat-lumat mulutku, mendasak-desaknya ke dalam dengan buas. Sementara jemari kedua tangannya menggerayangi seluruh bagian kulit tubuhku, terutama pada bagian punggung, dada, dan selangkanganku. Tidak karuan lagi, aku jadi terangsang. Kini aku berani membalas ciuman buas Tante Ami . Nampaknya Tante Ami tidak mau mengalah, dia bahkan tambah liar lagi.
Kini mulut Tante Ami merayap turun ke bawah, menyusuri leherku dan dadaku. Beberapa cupangan yang meninggalkan warna merah menghiasi pada leher dan dadaku. Kini dengan liar Tante Ami menarik cawatku ke bawah setelah jongkok persis di depan selangkanganku yang sedikit terbuka itu. Tentu saja, batang kemaluanku yang sebenarnya telah meregang berdiri tegak itu langsung memukul wajahnya yang cantik jelita.
“Ouh, gila benar. Tititmu sangat besar dan kekar, An. Ouh… hmmm..!” seru bergairah Tante Ami sambil memasukkan batang kejantananku ke dalam mulutnya, dan mulailah dia mengulum-ngulum, yang seringkali dibarengi dengan mennyedot kuat dan ganas.
Sementara tangan kanannya mengocok-ngocok batang kejantananku, sedang jemari tangan kirinya meremas-remas buah kemaluanku. Aku hanya mengerang-ngerang merasakan sensasi yang nikmat tiada taranya. Bagaimana tidak, batang kemaluanku secara diam-diam di tempat kerjaku sana, kulatih sedemikian rupa, sehingga menjadi tumbuh besar dan panjang. Terakhir kuukur, batang kejantanan ini memiliki panjang 17 sentimeter dengan garis lingkarnya yang hampir 5 senti. Rambut kemaluan sengaja kurapikan.
Tante Ami terus menerus masih aktif mengocok-ngocok batang kemaluanku. Remasan pada buah kemaluanku membuatku merintih-rintih kesakitan, tetapi nikmat sekali. Bahkan dengan gilanya Tante Ami kadangkala memukul-mukulkan batang kemaluanku ini ke seluruh permukaan wajahnya. Aku sendiri langsung tidak mampu menahan lebih lama puncak gairahku. Dengan memegangi kepala Tante Ami , aku menikam-nikamkan batang kejantananku pada mulut Tante Ami . Tidak karuan lagi, Tante Ami jadi tersendak-sendak ingin muntah atau batuk. Air matanya malah telah menetes, karena batang kejantananku mampu mengocok sampai ke tenggorokannya.
Pada satu kesempatan, aku berhasil mencopot kemejanya. Aku sangat terkejut saat melihat ukuran buah dadanya. Luar biasa besarnya. Keringat benar-benar telah membasahi kedua tubuh kami yang sudah tidak berpakaian lagi ini. Dengan ganas, kedua tangan Tante Ami kini mengocok-ngocok batang kemaluanku dengan genggamannya yang sangat erat sekali. Tetapi karena sudah ada lumuran air ludah Tante Ami , kini jadi licin dan mempercepat proses ejakulasiku.
“Crooot… cret.. croot… creeet..!” menyemprot air maniku pada mulut Tante Ami .
Saat spremaku muncrat, Tante Ami dengan lahap memasukkan batang kemaluanku kembali ke dalam mulutnya sambil mengurut-ngurutnya, sehingga sisa-sisa air maniku keluar semua dan ditelan habis oleh Tante Ami .
“Ouhh… ouh.. auh Tante… ouh..!” gumamku merasakan gairahku yang indah ini dikerjai oleh Tante Ami .
“Hmmm… Anju … ouh, banyak sekali air maninya. Hmmm.., lezaat sekali. Lezat. Ouh… hmmm..!” bisik Tante Ami menjilati seluruh bagian batang kemaluanku dan sisa-sisa air maninya.
Sejenak aku hanya mengolah nafasku, sementara Tante Ami masih mengocok-ngocok dan menjilatinya.
“Ayo, Anju … kemarilah Sayang.., kemarilah Baby..!” pintanya sambil berbaring telentang dan membuka kedua belah pahanya lebar-lebar.
Aku tanpa membuang waktu lagi, terus menyerudukkan mulutku pada celah vagina Tante Ami yang merekah ingin kuterkam itu. Benar-benat lezat. Vagina Tante Ami mulai kulumat-lumat tanpa karuan lagi, sedangkan lidahku menjilat-jilat deras seluruh bagiang liang vaginanya yang dalam. Berulang kali aku temukan kelentitnya lewat lidahku yang kasar. Rambut kemaluan Tante Ami memang lebat dan rindang.
Cupangan merah pun kucap pada seluruh bagian daging vagina Tante Ami yang menggairahkan ini. Tante Ami hanya menggerinjal-gerinjal kegelian dan sangat senang sekali nampaknya. Kulirik tadi, Tante Ami terus-menerus melakukan remasan pada buah dadanya sendiri sambil sesekali memelintir puting-putingnya. Berulang kali mulutnya mendesah-desah dan menjerit kecil saat mulutku menciumi mulut vaginanya dan menerik-narik daging kelentitnya.
“Ouh Anju … lakukan sesukamu.. ouh.., lakukan, please..!” pintanya mengerang-erang deras.
Selang sepuluh menit kemuadian, aku kini merayap lembut menuju perutnya, dan terus merapat di seluruh bagian buah dadanya. Dengan ganas aku menyedot-nyedot puting payudaranya. Tetapi air susunya sama sekali tidak keluar, hanya puting-puting itu yang kini mengeras dan memanjang membengkak total. Di buah dadanya ini pula aku melukiskan cupanganku banyak sekali. Berulang kali jemariku memilin-milin gemas puting-puting susu Tante Ami secara bergantian, kiri kanan. Aku kini tidak tahan lagi untuk menyetubuhi Tanteku. Dengan bergegas, aku membimbing masuk batang kemaluanku pada liang vaginanya.
“Ooouhkk.. yeaaah… ayoo.. ayooo… genjot Anju ..!” teriak Tante Ami saat merasakan batang kejantananku mulai menikam-nikam liar mulut vaginanya.
Sambil menopang tubuhku yang berpegangan pada buah dadanya, aku semakin meningkatkan irama keluar masuk batang kemaluanku pada vagina Tante Ami . Wanita itu hanya berpegangan pada kedua tanganku yang sambil meremas-remas kedua buah dadanya.
“Blesep… sleeep… blesep..!” suara senggama yang sangat indah mengiringi dengan alunan lembut.
Selang dua puluh menit puncak klimaks itu kucapai dengan sempurna, “Creeet… croot… creeet..!”
“Ouuuhhhkk.. aooouhkk… aaahhk..,” seru Tante Ami menggelepar-gelepar lunglai.
“Tante… ouhhh..!” gumamku merasakan keletihanku yang sangat terasa di seluruh bagian tubuhku.
Dengan batang kemaluan yang masih tetap menancap erat pada vagiana Tante Ami , kami jatuh tertidur. Tante Ami berada di atasku.
Karena kelelahanku yang sangat menguasai seluruh jaringan tubuhku, aku benar-benar mampu tertidur dengan pulas dan tenang. Entah sudah berapa lama aku tertidur pulas, yang jelas saat kubangun udara dingin segera menyergapku. Sial. Aku sadar, ini di desa dekat Merapi, tentu saja dingin. Tidak berapa lama jam dinding berdentang lima sampai enam kali. Jam enam pagi..! Dengan agak malas aku beranjak berdiri, tetapi tidak kulihat Tante Ami ada di kamar ini. Sepi dan kosong. Dimana dia..? Aku terus mencoba ingin tahu. Dalam keadaan bugil ini, aku melangkah mendekati meja lampu. Secarik kertas kutemukan dengan tulisan dari tangan Tante Ami .
Anju sayang, Tante kudu buru-buru ke Jakarta pagi ini. Udah dijemput. Ada pameran di sana. Tolong jaga rumah dan Lina . Ttd, Ami .
Aku menghela nafas dalam-dalam. Gila, setelah menikmati diriku, dia minggat. Tetapi tidak apa-apa, aku dapat beristirahat total di sini, ditemani Lina . Eh, tapi dimana dia..? Aku segera mengambil selembar handuk putih kecil yang segera kulilitkan pada tubuh bawahku. Tanpa membuang waktu lagi aku segera menyusuri rumah, dari ruang ke ruang dari kamar ke kamar. Tetapi sosok bocah SD itu tidak kelihatan sama sekali. Aku hampir putus asa, tetapi mendadak aku mendengar suara gemericik air pancuran dari kamar mandi ruang tamu di depan sana. Lina . Ya itu pasti dia. Aku segera memburu.
Kubuka pintu kamar tamu yang luas dan asri ini. Benar. Kulihat pintu kamar mandinya tidak ditutup, ada bayangan orang di situ yang sedang mandi sambil bernyanyi melagukan Westlife. Edan, anak SD nyanyinya begitu. Aku hanya tersenyum saja. Perlahan aku mendekati gawang pintu. Aku seketika hanya menelan ludahku sendiri. Lina berdiri membelakangiku masih asyik bergoyang-goyang sambil menggosok seluruh tubuhnya yang telanjang bulat itu dengan sabun. Rambut panjangnya tumbuh lurus dan hitam sebatas pinggang. Berkulit kuning langsat dan nampaknya halus sekali. Kusadari dia telah tumbuh lebih dewasa.
Air shower masih menyiraminya dengan hangat. Pantatnya sungguh indah bergerak-gerak penuh gairah. Hanya aku belum lihat buah dadanya. Tanpa kuduga, Lina membalikkan badannya. Aku yang melamun, seketika terkejut bukan main, takut dan khawatir membuatnya kaget lalu marah besar. Ternyata tidak.
“Mas..? Mas Anju ..?” bertanya Lina tidak percaya dengan wajah senang bercampur kaget.
Aku hanya menghela nafas lega. Dapat kuperhatikan kini, buah dadanya Lina telah tumbuh cukup besar. Puting-putingnya hitam memerah kelam dan tampak menonjol indah. Kira-kira buah dadanya ya, sekitar seperti tutup gelas itu. Seperti belum tumbuh, tetapi kok terlihat sudah memiliki daging menonjolnya. Sedangkan rambut kemaluannya sama sekali belum tumbuh. Masih bersih licin.
“Hai Lina , apa kabarnya..?” tanyaku mendekat.
Lina hanya tersenyum, “Masih ingat ketika kita renang bersama di rumahku dulu..? Kita berdua kan..? Hmm..?” sambungku meraih bahunya.
Air terus menyirami tubuhnya, dan kini juga tubuhku. Lina mengangguk ingat.
“Ya. Ngg.., bagaimana kalau kita mandi bareng lagi Mas. Lina kangen… mas Anju .. ouh..!” ujarnya memeluk pinggangku.
Aku mengangkut tubuhnya yang setinggi dadaku ini dengan erat.
“Tentu saja, yuk..!”
Aku menurunkan Lina .
“Kapan Mas datangnya..?”
“Tadi malam. Lina lagi tidur ya..?”
“Hm.. Mh..!”
Aku melepas handukku yang kini basah. Saat kulepas handukku, Lina tampak kaget melihat rambut kemaluanku yang tumbuh rapih. Segera saja tangannya menjamah buah kemaluan dan bantang kejantananku.
“Ouh.., Mas sudah punya rambut lebat ya. Lina belum Mas..,” ujarnya sambil memperhatikan vaginanya yang kecil.
Tentu saja aku jadi geli, batang kemaluanku diraba-raba dan ditimang-timang jemari tangan mungil Lina yang nakal ini.
“Itu karena Lina masih kecil. Nanti pasti juga memiliki rambut kemaluan. Hmm..?” ucapku sambil membelai wajahnya yang manis sekali.
Lina hanya tersipu. Sialnya, aku kini jadi kian geli saat Lina menarik-narik batang kejantananku dengan candanya.
“Ihhh.., kenyal sekali… ouh.., seperti belalai ya Mas..!”
Aku jadi terangsang. Gila.
“Belalai ini bisa akan jadi tumbuh besar dan panjang lho. Lina mau lihat..?”
“Iya Mas.., gimana tuh..?”
“Lina mesti mengulum, menghisap-hisap dan menyedotnya dengan kuat sekali batang zakar ini. Gimana..? Enak kok..!” kataku merayu dengan hati yang berdebar-debar kencang.
Lina sejenak berpikir, lalu tanpa menoleh ke arahku lagi, dia memasukkan ujung batang kejantananku ke dalam mulutnya. Wow..! Gadis kecil ini langsung melakukan perintahku, lebih-lebih aku mengarahkan juga untuk mengocok-ngocok batang kemaluanku ini, Lina menurut saja, dia malah kegirangan senang sekali. Dianggapnya batang ku adalah barang mainan baginya.
“Iya Mas. Tambah besar sekali dan panjang..!” serunya kembali melumat-lumatkan batang kejantananku dan mengocok keras batangnya.
Sekarang Lina kuajari lagi untuk meremas buah kemaluanku. Aku membayangkan semua itu bahwa Tante Ami yang melakukan. Indah sekali sensasinya. Tetapi nyatanya aku tengah dipompa nafsu seksku dari bocah cilik ini. Edan, sepupuku lagi. Tetapi apa boleh buat. Aku lagi kebelet sekali kini. Yang ada hanyalah Lina yang lugu dan bodoh tetapi mengasyikan sekali. Batang kejantananku kini benar-benar telah tumbuh sempurna keras dan panjangnya. Lina kian senang. Aku kian tidak tahan.
“Teruskan Lina , teruskan… ya.., ya… lebih keras dan kenceng… lakukanlah Sayang..!” perintahku sambil mengerang-erang.
Setelah hampir lima belas menit kemudian, air maniku muncrat tepat di dalam mulut Lina yang tengah menghisap batang kemaluanku.
“Creeet… crooot.. creet.. cret..!”
“Hup.. mhhhp..!” teriak kaget Lina mau melepaskan batang kemaluanku.
Tetapi secepat itu pula dia kutahan untuk tetap memasukkan batang kemaluanku di dalam mulutnya.
“Telan semua spermanya Lina . Itu namanya sperma. Enak sekali kok, bergizi tinggi. Telan semuanya, ya.. yaaa… begitu… terus bersihkan sisa-sisanya dari batangnya Mas..!” perintahku yang dituruti dengan sedikit enggan.
Tetapi lama kelamaan Lina tampak keasyikan mencari-cari sisa air maniku.
“Enak sekali Mas. Tapi kental dan baunya, hmm.., seperti air tajin saat Mama nanak nasi..! Enak pokoknya..! Lagi dong Mas, keluarkan spermanya..!”
Gila. Gila betul. Aku masih mencoba mengatur jalannya nafasku, Lina minta spermaku lagi..? Edan anak ini.
“Baik, tapi kini Lina ikuti perintahku ya..! Nanti tambah asyik, tapi sakit. Gimana..?”
“Kalau enak dan asyik, mauh. Nggak papa sakit dikit. Tapi spermanya ada lagi khan..?”
Aku mengangguk. Lina mulai kubaringkan sambil kubuka kedua belahan pahanya yang mulus itu untuk melingkari di pinggangku. Lina memperhatikan saja. Air dari shower masih mengucuri kami dengan dingin setelah tadi sempat kuganti ke arah cool.
“Auuuh, aduh.. Mas..!” teriak Lina kaget saat aku memasukkan batang kejantananku ke dalam liang vaginanya yang jelas-jelas sangat sempit itu.
Tetapi aku tidak perduli lagi. Kukocok vagina Lina dengan deras dan kencang sambil kuremas-remas buah dadanya yang kecil, serta menarik-narik puting-puting buah dadanya dengan gemas sekali. Lina semakin menjerit-jerit kesakitan dan tubuhnya semakin menggerinjal-gerinjal hebat.
“Sakiiit.. auuuh Mas.., Mas hentikan saja… sakiiit, perih sekali Mas, periiihhh… ouuuh akkkh… aouuuhkkk..!” menjerit-jerit mulut manisnya itu yang segera saja kuredam dengan melumat-lumat mulutnya.
“Blesep.. blesep… slebb..!” suara persetubuhkan kami kian indah dengan siraman shower di atas kami.
Aku semakin edan dan garang. Gerakan tubuhku semakin kencang dan cepat. Dapat kurasakan gesekan batang kemaluanku yang berukuran raksasa ini mengocok liang vaginan Lina yang super rapat sempitnya. Dari posisi ini, aku ganti dengan posisi Lina yang menungging, aku menyodok vaginanya dari belakang. Lalu ke posisi dia kupangku, sedangkan aku yang bergerak mengguncangkan tubuhnya naik, lalu kuterima dengan menikam ke atas menyambut vaginanya yang melelehkan darah.
“Tidak Masss… ouh sakit.. uhhk… huuuk… ouhhh… sakiiit..!” tangisnya sejadi-jadinya.
Tetapi aku tidak perduli, sepuluh posisi kucobakan pada tubuh bugil mungil Lina . Bahkan Lina nyaris pingsan. Tetapi disaat gadis itu hendak pingsan, puncak ejakulasiku datang.
“Creeet… crooot.. sreeet… crreeet..!” muncratnya air mani yang memenuhi liang vaginanya Lina bercampur dengan darahnya.
Lina jatuh pingsan. Aku hanya mengatur nafasku saja yang tidak karuan. Lemas. Lina pingsan saat aku memasangkan kembali batang kemaluanku ke posisi dia, kugendong di depan dengan dadanya merapat pada dadaku. Pelan-pelan kujatuh menggelosor ke bawah dengan batang kemaluanku yang masih menancap erat di vaginanya.
Cerita ini berawal dari Sesaat lamanya aku hanya berdiri di depan pintu gerbang sebuah rumah mewah berarsitektur gaya Jawa kuno. Hampir separuh bagian rumah di depanku itu adalah terbuat dari kayu jati tua yang super awet. Di depan terdapat sebuah pendopo kecil dengan lampu gantung kristalnya yang antik. Lantai keramik dan halaman yang luas dengan pohon-pohon perindangnya yang tumbuh subur memayungi seantero lingkungannya.
Aku masih ingat, di samping rumah berlantai dua itu terdapat kolam ikan Nila yang dicampur dengan ikan Tombro, Greskap, dan Mujair. Sementara ikan Geramah dipisah, begitu juga ikan Lelenya. Dibelakang sana masih dapat kucium adanya peternakan ayam kampung dan itik. Tante Ami memang seorang arsitek kondang dan kenamaan.
Enam tahun aku tinggal di sini selama sekolah SMU sampai D3-ku, sebelum akhirnya aku lulus wisuda pada sebuah sekolah pelayaran yang mengantarku keliling dunia. Kini hampir tujuh tahun aku tidak menginjakkan kakiku di sini. Sama sekali tidak banyak perubahan pada rumah Tante Ami . Aku bayangkan pula si Lina yang dulu masih umur lima tahun saat kutinggalkan, pasti kini sudah besar, kelas enam SD.
Kulirik jarum jam tanganku, menunjukkan pukul 23:35 tepat. Masih sesaat tadi kudengar deru lembut taksi yang mengantarku ke desa Kebun Agung, sleman yang masih asri suasana pedesaannya ini. Suara jangkrik mengiringi langkah kakiku menuju ke pintu samping. Sejenak aku mencari-cari dimana dulu Tante Ami meletakkan anak kuncinya. Tanganku segera meraba-raba ventilasi udara di atas pintu samping tersebut. Dapat. Aku segera membuka pintu dan menyelinap masuk ke dalam.
Sejenak aku melepas sepatu ket dan kaos kakinya. Hmm, baunya harum juga. Hanya remang-remang ruangan samping yang ada. Sepi. Aku terus saja melangkah ke lantai dua, yang merupakan letak kamar-kamar tidur keluarga. Aku dalam hati terus-menerus mengagumi figur Tante Ami . Walau hidup menjada, sebagai single parents, toh dia mampu mengurusi rumah besar karyanya sendiri ini. Lama sekali kupandangi foto Tante Ami dan Lina yang di belakangnya aku berdiri dengan lugunya. Aku hanya tersenyum.
Kuperhatikan celah di bawah pintu kamar Lina sudah gelap. Aku terus melangkah ke kamar sebelahnya. Kamar tidur Tante Ami yang jelas sekali lampunya masih menyala terang. Rupanya pintunya tidak terkunci. Kubuka perlahan dan hati-hati. Aku hanya melongo heran. Kamar ini kosong melompong. Aku hanya mendesah panjang. Mungkin Tante Ami ada di ruang kerjanya yang ada di sebelah kamarnya ini.
Sebentar aku menaruh tas ransel parasit dan melepas jaket kulitku. Berikutnya kaos oblong Jogja serta celana jeans biruku. Kuperhatikan tubuhku yang hitam ini kian berkulit gelap dan hitam saja. Tetapi untungnya, di tempat kerjaku pada sebuah kapal pesiar itu terdapat sarana olah raga yang komplit, sehingga aku kian tumbuh kekar dan sehat.
Tidak perduli dengan kulitku yang legam hitam dengan rambut-rambut bulu yang tumbuh lebat di sekujur kedua lengan tangan dan kakiku serta dadaku yang membidang sampai ke bawahnya, mengelilingi pusar dan terus ke bawah tentunya. Air. Ya aku hanya ingin merasakan siraman air shower dari kamar mandi Tante Ami yang bisa hangat dan dingin itu.
Aku hendak melepas cawat hitamku saat kudengar sapaan yang sangat kukenal itu dari belakangku, “Anju ..? Kaukah itu..?”
Aku segera memutar tubuhku. Aku sedikit terkejut melihat penampilan Tante Ami yang agak berbeda. Dia berdiri termangu hanya mengenakan kemeja lengan panjang dan longgar warna putih tipis tersebut dengan dua kancing baju bagian atasnya yang terlepas. Sehingga aku dapat melihat belahan buah dadanya yang kuakui memang memiliki ukuran sangat besar sekali dan sangat kencang, serta kenyal. Aku yakin, Tante Ami tidak memakai BH, jelas dari bayangan dua bulatan hitam yang samar-samar terlihat di ujung kedua buah dadanya itu. Rambutnya masih lebat dipotong sebatang bahunya. Kulit kuning langsat dan bersih sekali dengan warna cat kukunya yang merah muda.
“Ngg.., selamat malam Tante Ami … maaf, keponakanmu ini datang dan untuk berlibur di sini tanpa ngebel dulu. Maaf pula, kalau tujuh tahun lamanya ini tidak pernah datang kemari. Hanya lewat surat, telpon, kartu pos, e-mail.., sekali lagi, saya minta maaf Tante. Saya sangat merindukan Tante..!” ucapku sambil kubiarkan Tante Ami mendekatiku dengan wajah haru dan senangnya.
“Ouh Anju … ouh..!” bisik Tante Ami sambil menubrukku dan memelukku erat-erat sambil membenamkan wajahnya pada dadaku yang membidang kasar oleh rambut.
Aku sejenak hanya membalas pelukannya dengan kencang pula, sehingga dapat kurasakan desakan puting-puting dua buah dadanya Tante Ami .
“Kau pikir hanya kamu ya, yang kangen berat sama Tante, hmm..? Tantemu ini melebihi kangennya kamu padaku. Ngerti nggak..? Gila kamu Anju ..!” imbuhnya sambil memandangi wajahku sangat dekat sekali dengan kedua tangannya yang tetap melingkarkan pada leherku, sambil kemudian memperhatikan kondisi tubuhku yang hanya bercawat ini.
Tante Ami tersenyum mesra sekali. Aku hanya menghapus air matanya. Ah Tante Ami …
“Ya, untuk itulah aku minta maaf pada Tante…”
“Tentu saja, kumaafkan..” sahutnya sambil menghela nafasnya tanpa berkedip tetap memandangiku, “Kamu tambah gagah dan ganteng Anju . Pasti di kapal, banyak crew wanita yang bule itu jatuh cinta padamu. Siapa pacarmu, hmm..?”
“Belum punya Tan. Aku masih nabung untuk membina rumah tangga dengan seorang, entah siapa nanti. Untuk itu, aku mau minta Tante bikinkan aku desain rumah…”
“Bayarannya..?” tanya Tante Ami cepat sambil menyambar mulutku dengan bibir tipis Tante Ami yang merah.
Aku terkejut, tetapi dalam hati senang juga. Bahkan tidak kutolak Tante Ami untuk memelukku terus menerus seperti ini. Tapi sialnya, batang kemaluanku mulai merinding geli untuk bangkit berdiri. Padahal di tempat itu, perut Tante Ami menekanku. Tentu dia dapat merasakan perubahan kejadiannya.
“Aku… ngg…”
“Ahh, kamu Anju . Tante sangat kangen padamu, hmm… ouh Anju … hmm..!” sahut Tante Ami sambil menerkam mulutku dengan bibirnya.
Aku sejenak terkejut dengan serbuan ganas mulut Tante Ami yang kian binal melumat-lumat mulutku, mendasak-desaknya ke dalam dengan buas. Sementara jemari kedua tangannya menggerayangi seluruh bagian kulit tubuhku, terutama pada bagian punggung, dada, dan selangkanganku. Tidak karuan lagi, aku jadi terangsang. Kini aku berani membalas ciuman buas Tante Ami . Nampaknya Tante Ami tidak mau mengalah, dia bahkan tambah liar lagi.
Kini mulut Tante Ami merayap turun ke bawah, menyusuri leherku dan dadaku. Beberapa cupangan yang meninggalkan warna merah menghiasi pada leher dan dadaku. Kini dengan liar Tante Ami menarik cawatku ke bawah setelah jongkok persis di depan selangkanganku yang sedikit terbuka itu. Tentu saja, batang kemaluanku yang sebenarnya telah meregang berdiri tegak itu langsung memukul wajahnya yang cantik jelita.
“Ouh, gila benar. Tititmu sangat besar dan kekar, An. Ouh… hmmm..!” seru bergairah Tante Ami sambil memasukkan batang kejantananku ke dalam mulutnya, dan mulailah dia mengulum-ngulum, yang seringkali dibarengi dengan mennyedot kuat dan ganas.
Sementara tangan kanannya mengocok-ngocok batang kejantananku, sedang jemari tangan kirinya meremas-remas buah kemaluanku. Aku hanya mengerang-ngerang merasakan sensasi yang nikmat tiada taranya. Bagaimana tidak, batang kemaluanku secara diam-diam di tempat kerjaku sana, kulatih sedemikian rupa, sehingga menjadi tumbuh besar dan panjang. Terakhir kuukur, batang kejantanan ini memiliki panjang 17 sentimeter dengan garis lingkarnya yang hampir 5 senti. Rambut kemaluan sengaja kurapikan.
Tante Ami terus menerus masih aktif mengocok-ngocok batang kemaluanku. Remasan pada buah kemaluanku membuatku merintih-rintih kesakitan, tetapi nikmat sekali. Bahkan dengan gilanya Tante Ami kadangkala memukul-mukulkan batang kemaluanku ini ke seluruh permukaan wajahnya. Aku sendiri langsung tidak mampu menahan lebih lama puncak gairahku. Dengan memegangi kepala Tante Ami , aku menikam-nikamkan batang kejantananku pada mulut Tante Ami . Tidak karuan lagi, Tante Ami jadi tersendak-sendak ingin muntah atau batuk. Air matanya malah telah menetes, karena batang kejantananku mampu mengocok sampai ke tenggorokannya.
Pada satu kesempatan, aku berhasil mencopot kemejanya. Aku sangat terkejut saat melihat ukuran buah dadanya. Luar biasa besarnya. Keringat benar-benar telah membasahi kedua tubuh kami yang sudah tidak berpakaian lagi ini. Dengan ganas, kedua tangan Tante Ami kini mengocok-ngocok batang kemaluanku dengan genggamannya yang sangat erat sekali. Tetapi karena sudah ada lumuran air ludah Tante Ami , kini jadi licin dan mempercepat proses ejakulasiku.
“Crooot… cret.. croot… creeet..!” menyemprot air maniku pada mulut Tante Ami .
Saat spremaku muncrat, Tante Ami dengan lahap memasukkan batang kemaluanku kembali ke dalam mulutnya sambil mengurut-ngurutnya, sehingga sisa-sisa air maniku keluar semua dan ditelan habis oleh Tante Ami .
“Ouhh… ouh.. auh Tante… ouh..!” gumamku merasakan gairahku yang indah ini dikerjai oleh Tante Ami .
“Hmmm… Anju … ouh, banyak sekali air maninya. Hmmm.., lezaat sekali. Lezat. Ouh… hmmm..!” bisik Tante Ami menjilati seluruh bagian batang kemaluanku dan sisa-sisa air maninya.
Sejenak aku hanya mengolah nafasku, sementara Tante Ami masih mengocok-ngocok dan menjilatinya.
“Ayo, Anju … kemarilah Sayang.., kemarilah Baby..!” pintanya sambil berbaring telentang dan membuka kedua belah pahanya lebar-lebar.
Aku tanpa membuang waktu lagi, terus menyerudukkan mulutku pada celah vagina Tante Ami yang merekah ingin kuterkam itu. Benar-benat lezat. Vagina Tante Ami mulai kulumat-lumat tanpa karuan lagi, sedangkan lidahku menjilat-jilat deras seluruh bagiang liang vaginanya yang dalam. Berulang kali aku temukan kelentitnya lewat lidahku yang kasar. Rambut kemaluan Tante Ami memang lebat dan rindang.
Cupangan merah pun kucap pada seluruh bagian daging vagina Tante Ami yang menggairahkan ini. Tante Ami hanya menggerinjal-gerinjal kegelian dan sangat senang sekali nampaknya. Kulirik tadi, Tante Ami terus-menerus melakukan remasan pada buah dadanya sendiri sambil sesekali memelintir puting-putingnya. Berulang kali mulutnya mendesah-desah dan menjerit kecil saat mulutku menciumi mulut vaginanya dan menerik-narik daging kelentitnya.
“Ouh Anju … lakukan sesukamu.. ouh.., lakukan, please..!” pintanya mengerang-erang deras.
Selang sepuluh menit kemuadian, aku kini merayap lembut menuju perutnya, dan terus merapat di seluruh bagian buah dadanya. Dengan ganas aku menyedot-nyedot puting payudaranya. Tetapi air susunya sama sekali tidak keluar, hanya puting-puting itu yang kini mengeras dan memanjang membengkak total. Di buah dadanya ini pula aku melukiskan cupanganku banyak sekali. Berulang kali jemariku memilin-milin gemas puting-puting susu Tante Ami secara bergantian, kiri kanan. Aku kini tidak tahan lagi untuk menyetubuhi Tanteku. Dengan bergegas, aku membimbing masuk batang kemaluanku pada liang vaginanya.
“Ooouhkk.. yeaaah… ayoo.. ayooo… genjot Anju ..!” teriak Tante Ami saat merasakan batang kejantananku mulai menikam-nikam liar mulut vaginanya.
Sambil menopang tubuhku yang berpegangan pada buah dadanya, aku semakin meningkatkan irama keluar masuk batang kemaluanku pada vagina Tante Ami . Wanita itu hanya berpegangan pada kedua tanganku yang sambil meremas-remas kedua buah dadanya.
“Blesep… sleeep… blesep..!” suara senggama yang sangat indah mengiringi dengan alunan lembut.
Selang dua puluh menit puncak klimaks itu kucapai dengan sempurna, “Creeet… croot… creeet..!”
“Ouuuhhhkk.. aooouhkk… aaahhk..,” seru Tante Ami menggelepar-gelepar lunglai.
“Tante… ouhhh..!” gumamku merasakan keletihanku yang sangat terasa di seluruh bagian tubuhku.
Dengan batang kemaluan yang masih tetap menancap erat pada vagiana Tante Ami , kami jatuh tertidur. Tante Ami berada di atasku.
Karena kelelahanku yang sangat menguasai seluruh jaringan tubuhku, aku benar-benar mampu tertidur dengan pulas dan tenang. Entah sudah berapa lama aku tertidur pulas, yang jelas saat kubangun udara dingin segera menyergapku. Sial. Aku sadar, ini di desa dekat Merapi, tentu saja dingin. Tidak berapa lama jam dinding berdentang lima sampai enam kali. Jam enam pagi..! Dengan agak malas aku beranjak berdiri, tetapi tidak kulihat Tante Ami ada di kamar ini. Sepi dan kosong. Dimana dia..? Aku terus mencoba ingin tahu. Dalam keadaan bugil ini, aku melangkah mendekati meja lampu. Secarik kertas kutemukan dengan tulisan dari tangan Tante Ami .
Anju sayang, Tante kudu buru-buru ke Jakarta pagi ini. Udah dijemput. Ada pameran di sana. Tolong jaga rumah dan Lina . Ttd, Ami .
Aku menghela nafas dalam-dalam. Gila, setelah menikmati diriku, dia minggat. Tetapi tidak apa-apa, aku dapat beristirahat total di sini, ditemani Lina . Eh, tapi dimana dia..? Aku segera mengambil selembar handuk putih kecil yang segera kulilitkan pada tubuh bawahku. Tanpa membuang waktu lagi aku segera menyusuri rumah, dari ruang ke ruang dari kamar ke kamar. Tetapi sosok bocah SD itu tidak kelihatan sama sekali. Aku hampir putus asa, tetapi mendadak aku mendengar suara gemericik air pancuran dari kamar mandi ruang tamu di depan sana. Lina . Ya itu pasti dia. Aku segera memburu.
Kubuka pintu kamar tamu yang luas dan asri ini. Benar. Kulihat pintu kamar mandinya tidak ditutup, ada bayangan orang di situ yang sedang mandi sambil bernyanyi melagukan Westlife. Edan, anak SD nyanyinya begitu. Aku hanya tersenyum saja. Perlahan aku mendekati gawang pintu. Aku seketika hanya menelan ludahku sendiri. Lina berdiri membelakangiku masih asyik bergoyang-goyang sambil menggosok seluruh tubuhnya yang telanjang bulat itu dengan sabun. Rambut panjangnya tumbuh lurus dan hitam sebatas pinggang. Berkulit kuning langsat dan nampaknya halus sekali. Kusadari dia telah tumbuh lebih dewasa.
Air shower masih menyiraminya dengan hangat. Pantatnya sungguh indah bergerak-gerak penuh gairah. Hanya aku belum lihat buah dadanya. Tanpa kuduga, Lina membalikkan badannya. Aku yang melamun, seketika terkejut bukan main, takut dan khawatir membuatnya kaget lalu marah besar. Ternyata tidak.
“Mas..? Mas Anju ..?” bertanya Lina tidak percaya dengan wajah senang bercampur kaget.
Aku hanya menghela nafas lega. Dapat kuperhatikan kini, buah dadanya Lina telah tumbuh cukup besar. Puting-putingnya hitam memerah kelam dan tampak menonjol indah. Kira-kira buah dadanya ya, sekitar seperti tutup gelas itu. Seperti belum tumbuh, tetapi kok terlihat sudah memiliki daging menonjolnya. Sedangkan rambut kemaluannya sama sekali belum tumbuh. Masih bersih licin.
“Hai Lina , apa kabarnya..?” tanyaku mendekat.
Lina hanya tersenyum, “Masih ingat ketika kita renang bersama di rumahku dulu..? Kita berdua kan..? Hmm..?” sambungku meraih bahunya.
Air terus menyirami tubuhnya, dan kini juga tubuhku. Lina mengangguk ingat.
“Ya. Ngg.., bagaimana kalau kita mandi bareng lagi Mas. Lina kangen… mas Anju .. ouh..!” ujarnya memeluk pinggangku.
Aku mengangkut tubuhnya yang setinggi dadaku ini dengan erat.
“Tentu saja, yuk..!”
Aku menurunkan Lina .
“Kapan Mas datangnya..?”
“Tadi malam. Lina lagi tidur ya..?”
“Hm.. Mh..!”
Aku melepas handukku yang kini basah. Saat kulepas handukku, Lina tampak kaget melihat rambut kemaluanku yang tumbuh rapih. Segera saja tangannya menjamah buah kemaluan dan bantang kejantananku.
“Ouh.., Mas sudah punya rambut lebat ya. Lina belum Mas..,” ujarnya sambil memperhatikan vaginanya yang kecil.
Tentu saja aku jadi geli, batang kemaluanku diraba-raba dan ditimang-timang jemari tangan mungil Lina yang nakal ini.
“Itu karena Lina masih kecil. Nanti pasti juga memiliki rambut kemaluan. Hmm..?” ucapku sambil membelai wajahnya yang manis sekali.
Lina hanya tersipu. Sialnya, aku kini jadi kian geli saat Lina menarik-narik batang kejantananku dengan candanya.
“Ihhh.., kenyal sekali… ouh.., seperti belalai ya Mas..!”
Aku jadi terangsang. Gila.
“Belalai ini bisa akan jadi tumbuh besar dan panjang lho. Lina mau lihat..?”
“Iya Mas.., gimana tuh..?”
“Lina mesti mengulum, menghisap-hisap dan menyedotnya dengan kuat sekali batang zakar ini. Gimana..? Enak kok..!” kataku merayu dengan hati yang berdebar-debar kencang.
Lina sejenak berpikir, lalu tanpa menoleh ke arahku lagi, dia memasukkan ujung batang kejantananku ke dalam mulutnya. Wow..! Gadis kecil ini langsung melakukan perintahku, lebih-lebih aku mengarahkan juga untuk mengocok-ngocok batang kemaluanku ini, Lina menurut saja, dia malah kegirangan senang sekali. Dianggapnya batang ku adalah barang mainan baginya.
“Iya Mas. Tambah besar sekali dan panjang..!” serunya kembali melumat-lumatkan batang kejantananku dan mengocok keras batangnya.
Sekarang Lina kuajari lagi untuk meremas buah kemaluanku. Aku membayangkan semua itu bahwa Tante Ami yang melakukan. Indah sekali sensasinya. Tetapi nyatanya aku tengah dipompa nafsu seksku dari bocah cilik ini. Edan, sepupuku lagi. Tetapi apa boleh buat. Aku lagi kebelet sekali kini. Yang ada hanyalah Lina yang lugu dan bodoh tetapi mengasyikan sekali. Batang kejantananku kini benar-benar telah tumbuh sempurna keras dan panjangnya. Lina kian senang. Aku kian tidak tahan.
“Teruskan Lina , teruskan… ya.., ya… lebih keras dan kenceng… lakukanlah Sayang..!” perintahku sambil mengerang-erang.
Setelah hampir lima belas menit kemudian, air maniku muncrat tepat di dalam mulut Lina yang tengah menghisap batang kemaluanku.
“Creeet… crooot.. creet.. cret..!”
“Hup.. mhhhp..!” teriak kaget Lina mau melepaskan batang kemaluanku.
Tetapi secepat itu pula dia kutahan untuk tetap memasukkan batang kemaluanku di dalam mulutnya.
“Telan semua spermanya Lina . Itu namanya sperma. Enak sekali kok, bergizi tinggi. Telan semuanya, ya.. yaaa… begitu… terus bersihkan sisa-sisanya dari batangnya Mas..!” perintahku yang dituruti dengan sedikit enggan.
Tetapi lama kelamaan Lina tampak keasyikan mencari-cari sisa air maniku.
“Enak sekali Mas. Tapi kental dan baunya, hmm.., seperti air tajin saat Mama nanak nasi..! Enak pokoknya..! Lagi dong Mas, keluarkan spermanya..!”
Gila. Gila betul. Aku masih mencoba mengatur jalannya nafasku, Lina minta spermaku lagi..? Edan anak ini.
“Baik, tapi kini Lina ikuti perintahku ya..! Nanti tambah asyik, tapi sakit. Gimana..?”
“Kalau enak dan asyik, mauh. Nggak papa sakit dikit. Tapi spermanya ada lagi khan..?”
Aku mengangguk. Lina mulai kubaringkan sambil kubuka kedua belahan pahanya yang mulus itu untuk melingkari di pinggangku. Lina memperhatikan saja. Air dari shower masih mengucuri kami dengan dingin setelah tadi sempat kuganti ke arah cool.
“Auuuh, aduh.. Mas..!” teriak Lina kaget saat aku memasukkan batang kejantananku ke dalam liang vaginanya yang jelas-jelas sangat sempit itu.
Tetapi aku tidak perduli lagi. Kukocok vagina Lina dengan deras dan kencang sambil kuremas-remas buah dadanya yang kecil, serta menarik-narik puting-puting buah dadanya dengan gemas sekali. Lina semakin menjerit-jerit kesakitan dan tubuhnya semakin menggerinjal-gerinjal hebat.
“Sakiiit.. auuuh Mas.., Mas hentikan saja… sakiiit, perih sekali Mas, periiihhh… ouuuh akkkh… aouuuhkkk..!” menjerit-jerit mulut manisnya itu yang segera saja kuredam dengan melumat-lumat mulutnya.
“Blesep.. blesep… slebb..!” suara persetubuhkan kami kian indah dengan siraman shower di atas kami.
Aku semakin edan dan garang. Gerakan tubuhku semakin kencang dan cepat. Dapat kurasakan gesekan batang kemaluanku yang berukuran raksasa ini mengocok liang vaginan Lina yang super rapat sempitnya. Dari posisi ini, aku ganti dengan posisi Lina yang menungging, aku menyodok vaginanya dari belakang. Lalu ke posisi dia kupangku, sedangkan aku yang bergerak mengguncangkan tubuhnya naik, lalu kuterima dengan menikam ke atas menyambut vaginanya yang melelehkan darah.
“Tidak Masss… ouh sakit.. uhhk… huuuk… ouhhh… sakiiit..!” tangisnya sejadi-jadinya.
Tetapi aku tidak perduli, sepuluh posisi kucobakan pada tubuh bugil mungil Lina . Bahkan Lina nyaris pingsan. Tetapi disaat gadis itu hendak pingsan, puncak ejakulasiku datang.
“Creeet… crooot.. sreeet… crreeet..!” muncratnya air mani yang memenuhi liang vaginanya Lina bercampur dengan darahnya.
Lina jatuh pingsan. Aku hanya mengatur nafasku saja yang tidak karuan. Lemas. Lina pingsan saat aku memasangkan kembali batang kemaluanku ke posisi dia, kugendong di depan dengan dadanya merapat pada dadaku. Pelan-pelan kujatuh menggelosor ke bawah dengan batang kemaluanku yang masih menancap erat di vaginanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar