UNITED4D - Aku masih saja belum mendapat pasangan atau kekasih padahal umurku sudah berkepala 3 , dan aku pun sudah siap untuk menikah, padahal aku sudha bekerja dan bisa dibilang mapan untuk mengurus sebuah rumah tangga, tapi aku juga belum kepikiran untuk menikah karena masih terbawa rasa petualang cinta, dan sejak umur 20an aku sudah melakukan hal tersebut.
Baca Juga : Si Guru Sexy
Waktu itu aku masih kelas 3 SMU. Hari itu aku ada janji dengan Ropik, sahabatku di sekolah. Rencananya dia mau mengajakku jalan-jalan ke Mall A?a,?EsXA?a,?a”? sekedar menghilangkan kepenatan setelah seminggu penuh digojlok latihan sepak bola habis-habisan.
Sejam lebih aku menunggu di warung depan gang rumah pamanku (aku tinggal numpang di rumah paman, karena aku sekolah di kota yang jauh dari tempat tinggal orangtuaku yang di desa). Jalan ke Mall A?a,?EsXA?a,?a”? dari rumah Ropik melewati tempat tinggal pamanku itu, jadi janjinya aku disuruh menunggu di warung pinggir jalan seperti biasa.
Aku mulai gelisah, karena biasanya Ropik selalu tepat janji. Akhirnya aku menuju ke telepon umum yang ada di dekat situ, pengin nelpon ke rumah Ropik, memastikan dia sudah berangkat atau belum (waktu itu HP belum musim bro, paling juga pager yang sudah ada, tapi itupun kami tidak punya).
“Sialan.. telkom ini, barang rongsokan di pasang di sini!,” gerutuku karena telpon koin yang kumasukkan keluar terus dan keluar terus. Setelah uring-uringan sebentar, akhirnya kuputuskan untuk ke rumah Ropik. Keputusan ini sebenarnya agak konyol, karena itu berarti aku berbalik arah dan menjauh dari Mall A?a,?EsXA?a,?a”? tujuan kami, belum lagi kemungkinan bersimpang jalan dengan Ropik.
Tapi, kegelisahanku mengalahkan pertimbangan itu. Akhirnya, setelah titip pesan pada penjual di warung kalau-kalau Ropik datang, aku langsung menyetop angkot dan menuju ke rumah Ropik.
Sesampai di rumah Ropik, kulihat suasananya sepi. Padahal sore-sore begitu biasanya anggota keluarga Ropik (Papa, Mama dan adik-adik Ropik, serta kadang pembantunya) pada ngobrol di teras rumah atau main badminton di gang depan rumah. Setelah celingak-celinguk beberapa saat, kulihat pembantu di rumah Ropik keluar dari pintu samping.
“Bi.. Bibi.. kok sepi.. pada kemana yah?” tanyaku. Aku terbilang sering main ke rumah Ropik, begitu juga sebaliknya Ropik sering main ke rumah pamanku, tempatku tinggal. Jadi aku sudah kenal baik dengan semua penghuni rumah Ropik, termasuk pembantu dan sopir papanya.
“Eh, mas Didik.. pada pergi mas, pada ikut ndoro kakung (juragan laki-laki). Yang ada di rumah cuman ndoro putri (juragan wanita),” jawabnya dengan ramah.
“Oh.. jadi Ropik ikut pergi juga ya Bi. Ya sudah kalau begitu, lain waktu saja saya ke sini lagi,” jawabku sambil mau pergi.
“Lho, nggak mampir dulu mas Didik. Mbok ya minum-minum dulu, biar capeknya hilang.”
“Makasih Bi, sudah sore ini,” jawabku.
Baru aku mau beranjak pulang, pintu depan tiba-tiba terbuka. Ternyata Tante Kirana, mama Ropik yang membuka pintu.
“Bibi ini gimana sih, ada tamu kok nggak disuruh masuk?”, katanya sambil sedikit mendelik pada si pembantu.
“Udah ndoro, sudah saya suruh duduk dulu, tapi mas Didik nggak mau,” jawabnya.
“Eh, nak Didik. Kenapa di luaran aja. Ayo masuk dulu,” kata Tante Kirana lagi.
“Makasih tante. Lain waktu aja saya main lagi tante,” jawabku.
“Ah, kamu ini kayak sama orang lain saja. Ayo masuk sebentar lah, udah datang jauh-jauh kok ya balik lagi. Ayo masuk, biar dibikin minum sama bibi dulu,” kata Tante Kirana lagi sambil melambai ke arahku.
Aku tidak bisa lagi menolak, takut membuat Tante Kirana tersinggung. Kemudian aku melangkah masuk dan duduk di teras, sementara Tante Kirana masih berdiri di depan pintu.
“Nak Didik, duduk di dalem saja. Tante lagi kurang enak badan, tante nanti nggak bisa nemenin kamu kalau duduk di luar.”
“Ya tante,” jawabku sambil masuk ke rumah dengan perasaan setengah sungkan.
“Ropik ikut Om pergi kemana sih tante?” tanyaku basa-basi setelah duduk di sofa di ruang tamu.
“Pada ke *kota X*, ke rumah kakek. Mendadak sih tadi pagi. Soalnya om-mu itu kan jarang sekali libur. Sekali boleh cuti, langsung mau nengok kakek.”
“Ehm.. tante nggak ikut?”
“Besuk pagi rencananya tante nyusul. Soalnya hari ini tadi tante nggak bisa ninggalin kantor, masih ada yang mesti diselesaiin,” jawab Tante Kirana. “Emangnya Ropik nggak ngasih tahu kamu kalau dia pergi?”
“Nggak tante,” jawabku sambil sedikit terheran-heran. Tidak biasanya Tante Kirana menyebutku dengan
“kamu”. Biasanya dia menyebutku dengan “nak Didik”.
“kamu”. Biasanya dia menyebutku dengan “nak Didik”.
“Kok bengong!” Tanya Tante Kirana membuatku kaget.
“Eh.. anu.. eh..,” aku tergugup-gugup.
“Ona-anu, ona-anu. Emang anunya siapa?” Tante Kirana meledek kegugupanku yang membuatku makin jengah. Untung Bibi segera datang membawa secangkir teh hangat, sehingga rasa jengahku tidak berkepanjangan.
“Mas Didik, silakan tehnya dicicipin, keburu dingin nggak enak,” kata bibi sambil menghidangkan teh di depanku.
“Makasih Bi,” jawabku pelan.
“Itu tehnya diminum ya, tante mau mandi dulu.. bau,” kata Tante Kirana sambil tersenyum. Setelah itu Tante Kirana dan pembantunya masuk ke ruang tengah. Sementara aku mulai membaca-baca koran yang ada di meja untuk.
Hampir setengah jam aku sendirian membaca koran di ruang tamu, sampai akhirnya Tante Kirana nampak keluar dari ruang tengah.
Dia memakai T-shirt warna putih dipadu dengan celana ketat di bawah lutut. Harus kuakui, meskipun umurnya sudah 40-an namun badannya masih bropik. Kulitnya putih bersih, dan wajahnya meskipun sudah mulai ada kerut di sana-sini, tapi masih jelas menampakkan sisa-sisa kecantikannya.
“Eh, ngapain kamu ngliatin tante kayak gitu. Heran ya liat nenek-nenek.”
“Mati aku!” kataku dalam hati. Ternyata Tante Kirana tahu sedang aku perhatikan. Aku hanya bisa menunduk malu, mungkin wajahku saat itu sudah seperti udang rebus.
“Heh, malah bengong lagi,” katanya lagi. Kali ini aku sempat melihat Tante Kirana tersenyum yang membuatku sedikit lega tahu kalau dia tidak marah.
“Maaf tante, nggak sengaja,” jawabku sekenanya.
“Mana ada nggak sengaja. Kalau sebentar itu nggak sengaja, lha ini lama gitu ngeliatnya,” kata Tante Kirana lagi. Meskipun masih merasa malu, namun aku agak tenang karena kata-kata Tante Kirana sama sekali tidak menunjukkan sedang marah.
“Kata Ropik, kamu mau pertandingan sepakbola di sekolah ya?” Tanya Tante Kirana.
“Eh, iya tante. Pertandingan antar SMU se-kota. Tapi masih dua minggu lagi kok tante, sekarang-sekarang ini baru tahap penggojlokan,” Aku sudah mulai tenang kembali.
“Pelajaran kamu terganggu nggak?”
“Ya sebenarnya lumayan menggangu tante, habisnya latihannya belakangan ini berat banget, soalnya sekolah sengaja mendatangkan pelatih sepakbola beneran.
Tapi, sekolah juga ngasih dispensasi kok tante. Jadi kalau capeknya nggak ketulungan, kami dikasih kesempatan untuk nggak ikut pelajaran. Kalau nggak begitu, nggak tahu lah tante. Soalnya kalau badan udah pegel-pegel, ikut pelajaranpun nggak konsen.”
“Kalau pegel-pegel kan tinggal dipijit saja,” kata Tante Kirana.
“Masalahnya siapa yang mau mijit tante?”
“Tante mau kok,” jawab Tante Kirana tiba-tiba.
“Ah, tante ini becanda aja,” kataku.
“Eh, ini beneran. Tante mau mijitin kalau memang kamu pegel-pegel. Kalau nggak percaya, sini tante pijit,” katanya lagi.
“Enggak ah tante. Ya, saya nggak berkirana tante. Nggak sopan,” jawabku sambil menunduk setelah melihat Tante Kirana nampak sungguh-sungguh dengan kata-katanya.
“Lho, kan tante sendiri yang nawarin, jadi nggak ada lagi kata nggak sopan. Ayo sini tante pijit,” katanya sambil memberi isyarat agar aku duduk di sofa di sebelahnya. Penyakit gugupku kambuh lagi. Aku hanya diam menunduk sambil mempermainkan jari-jariku.
“Ya udah, kalau kamu sungkan biar tante ke situ,” katanya sambil berjalan ke arahku. Sebentar kemudian sambil berdiri di samping sofa, Tante Kirana memijat kedua belah pundakku. Aku hanya terdiam, tidak tahu persis seperti apa perasaanku saat itu.
Setelah beberapa menit, Tante Kirana menghentikan pijitannya. Kemudian dia masuk ke ruang tengah sambil memberi isyarat padaku agar menunggu. Aku tidak tahu persis apa yang dilakukan Tante Kirana setelah itu. Yang aku tahu, aku sempat melihat bibi pembantu keluar rumah melalui pintu samping, yang tidak lama kemudian disusul Tante Kirana yang keluar lagi dari ruang tengah.
“Bibi tante suruh beli kue. Kue di rumah sudah habis,” katanya seolah menjawab pertanyaan yang tidak sempat kuucapkan. “Ayo sini tante lanjutin mijitnya. Pindah ke sini aja biar lebih enak,” kali itu aku hanya menurut saja pindah ke sofa panjang seperti yang disuruh Tante Kirana.
Kemudian aku disuruh duduk menyamping dan Tante Kirana duduk di belakangku sambil mulai memijit lagi.
“Gimana, enak nggak dipijit tante?” Tanya Tante Kirana sambil tangannya terus memijitku. Aku hanya mengangguk pelan.
“Biar lebih enak, kaosnya dibuka aja,” kata Tante Kirana kemudian. Aku diam saja. Bagaimana mungkin aku berkirana membuka kaosku, apalagi perasaanku saat itu sudah tidak karuan.
“Ya sudah. Kalau gitu, biar tante bantu bukain,” katanya sambil menaikkan bagian bawah kaosku. Seperti kena sihir aku menurut saja dan mengangkat kedua tanganku saat Tante Kirana membuka kaosku.
Setelah itu Tante Kirana kembali memijitku. Sekarang tidak lagi hanya pundakku, tapi mulai memijit punggung dan kadang pinggangku. Perasaanku kembali tidak karuan, bukan hanya pijitannya kini, tapi sepasang benda empuk sering menyentuh bahkan kadang menekan punggungku.
Meski seumur-umur aku belum pernah menyentuh payudara, tapi aku bisa tahu bahwa benda empuk yang menekan punggungku itu adalah sepasang payudara Tante Kirana.
Beberapa lama aku berada dalam situasi antara merasa nyaman, malu dan gugup sekaligus, sampai akhirnya aku merasakan ada benda halus menelusup bagian depan celanaku. Aku terbelalak begitu mengetahui yang menelusup itu adalah tangan Tante Kirana.
“Tante.. ” kataku lirih tanpa aku sendiri tahu maksud kataku itu. Tante Kirana seperti tidak mempedulikanku, dia malah sudah bergeser ke sampingku dan mulai membuka kancing serta retsluiting celanaku. Sementara itu aku hanya terdiam tanpa tahu harus berbuat apa. Sampai akhirnya aku mulai bisa melihat dan merasakan Tante Kirana mengelus penisku dari luar CD-ku.
Aku merasakan sensasi yang luar biasa. Sesuatu yang baru pertama kali itu aku rasakan. Belum lagi aku sadar sepenuhnya apa yang terjadi, aku mendapati penisku sudah menyembul keluar dan Tante Kirana sudah menggenggamnya sambil sesekali membelai-belainya. Setelah itu aku lebih sering memejamkan mata sambil sekali-kali melirik ke arah penisku yang sudah jadi mainan Tante Kirana.
Tak berapa lama kemudian aku merasakan kenikmatan yang jauh lebih mencengangkan. Kepala penisku seperti masuk ke satu lubang yang hangat. Ketika aku melirik lagi, kudapati kepala penisku sudah masuk ke mulut Tante Kirana, sementara tangannya naik turun mengocok batang penisku.
Aku hanya bisa terpejam sambil mendesis-desis keenakan. Beberapa menit kemudian aku merasakan seluruh tubuhku mulai mengejang. Aku merasakan Tante Kirana melepaskan penisku dari mulutnya, tapi mempercepat kocokan pada batang penisku.
“Sssshhhh.. creettt… creett… ” Sambil mendesis menikmati sensasi rasa yang luar biasa aku merasakan cairan hangat menyemprot sampai ke dadaku, cairan air mkirana ku sendiri.
“Ah, dasar anak muda, baru segitu aja udah keluar,” Tante Kirana berbisik di dekat telingaku. Aku hanya menatap kosong ke wajah Tante Kirana, yang aku tahu tangannya tidak berhenti mengelus-elus penisku. “Tapi ini juga kelebihan anak muda. Udah keluarpun, masih kenceng begini,” bisik Tante Kirana lagi.
Setelah itu aku lihat Tante Kirana melepas T-Shirtnya, kemudian berturut-turut, BH, celana dan CD-nya. Aku terus terbelalak melihat pemandangan seperti itu. Dan Tante Kirana seperti tidak peduli kemudian meluruskan posisi ku, kemudian dia mengangkang duduk di atasku. Selanjutnya aku merasakan penisku digenggam lagi, kali ini di arahkan ke selangkangan Tante Kirana.
“Sleppp…. Aaaaahhhhh… ” suara penisku menembus vagina Tante Kirana diiringi desahan panjangnya. Kemudian Tante Kirana bergerak turun naik dengan cepat sambil mendesah-desah. Mulutnya terkadang menciumi dada, leher dan bibirku.
Ada beberapa menit Tante Kirana bergerak naik turun, sampai akhirnya dia mempercepat gerakannya dan mulai menjerit-jerit kecil dengan liarnya. Akupun kembali merasakan kenikmatan yang luar biasa. Tak lama kemudian…
“Aaaaaaaaaaaaaaaaahhhhhhh…….. ,” Tante Kirana melenguh panjang, bersamaan dengan teriakanku yang kembali merasakan puncak yang kedua kali. Setelah itu Tante Kirana terkulai, merebahkan kepalanya di dadaku sambil memeluk pundakku.
“Terima kasih Dik…,” bisiknya lirih diteruskan kecupan ke bibirku.
Sejak kejadian itu, aku mengalami syok. Rasa takut dan bersalah mulai menghantui aku. Sulit membayangkan seandainya Ropik mengetahui kejadian itu. Perubahan besar mulai terjadi pada diriku, aku mulai sering menyendiri dan melamun.
Namun selain rasa takut dan bersalah, ada perasaan lain yang menghinggapi aku. Aku sering terbayang-bayang Tante Kirana dia telanjang bulat di depanku, terutama waktu malam hari, sehingga aku tiap malam susah tidur. Selain seperti ada dorongan keinginan untuk mengulangi lagi apa yang telah Tante Kirana lakukan padaku.
Perubahan pada diriku ternyata dirasakan juga oleh paman dan bibiku dan juga teman-temanku, termasuk Ropik. Tentu saja aku tidak menceritakan kejadian yang sebenarnya. Situasi seperti itu berlangsung sampai seminggu lebih yang membuat kesehatanku mulai drop akibat tiap malam susah tidur, dan paginya tetap kupaksakan masuk sekolah.
Akibat dari itu pula, akhirnya aku memilih mundur dari tim sepakbola sekolahku, karena kondisiku tidak memungkinkan lagi untuk mengikuti latihan-latihan berat.
Kira-kira seminggu setelah kejadian itu, aku berjalan sendirian di trotoar sepulang sekolah. Aku menuju halte yang jaraknya sekitar 300 meter dari sekolahku. Sebenarnya persis di depan sekolahku juga ada halte untuk bus kota, namun aku memilih halte yang lebih sepi agar tidak perlu menunggu bus bareng teman-teman sekolahku.
Saat asyik berjalan sambil menunduk, aku dikejutkan mobil yang tiba-tiba merapat dan berhenti agak di depanku. Lebih terkejut lagi saat tahu itu mobil itu mobil papanya Ropik. Setelah memperhatikan isi dalam mobil, jantungku berdesir. Tante Kirana yang mengendari mobil itu, dan sendirian.
“Dik, cepetan masuk, ntar keburu ketahuan yang lain,” panggil Tante Kirana sambil membuka pintu depan sebelah kiri. Sementara aku hanya berdiri tanpa bereaksi apa-apa.
“Cepetan sini!” kali ini suara Tante Kirana lebih keras dan wajahnya menyiratkan kecemasan.
“I.. Iya.. tante,” akhirnya aku menuruti panggilan Tante Kirana, dan bergegas masuk mobil.
“Nah, gitu. Keburu ketahuan temen-temenmu, repot.” kata Tante Kirana sambil langsung menjalankan mobilnya.
Di dalam mobil aku hanya diam saja, meskipun aku bisa sedikit melihat Tante Kirana beberapa kali menengok padaku.
“Tumben kamu nggak bareng Ropik,” Tanya Tante Kirana tiba-tiba.
“Enn.. Enggak tante. Saya lagi pengin sendirian saja. Tante nggak sekalian jemput Ropik?” aku sudah mulai menguasai diriku.
“Kan, emang Ropik nggak pernah dijemput,” jawab Tante Kirana.
“Eh, iya ya,” jawabku seperti orang bloon.
Setelah itu kami lebih banyak diam. Tante Kirana mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang. Setelah sampai di sebuah komplek pertokoan Tante Kirana melambatkan mobilnya sambil melihat-lihat mungkin mencari tempat parkir yang kosong. Setelah memarkirkan mobilnya, yang sepertinya mencari tempat yang agak jauh dari pusat pertokoan, Tante Kirana mengajak aku turun.
Setelah turun, Tante Kirana langsung menyetop taksi yang kebetulan sedang melintas. Terlihat dia bercakap-cakap dengan sopir taksi sebentar, kemudian langsung memanggilku supaya ikut naik taksi. Setelah masuk taksi,
Tante Kirana memberi isyarat padaku yang terbengong-bengong supaya diam, kemudian dia menyandarkan kepalanya pada jok taksi dan memejamkan matanya, entah kecapaian atau apa. Kira-kira 20 menit kemudian taksi memasuki pelataran sebuah hotel di pinggiran kota.
“Dik, kamu masuk duluan, kamu langsung aja. Ada kamar nganggur yang habis dipakai tamu kantor tante. Nanti tante nyusul,” kata Tante Kirana memberikan kunci kamar hotel sambil setengah mendorongku agar keluar.
Kemudian aku masuk ke hotel, aku memilih langsung mencari petunjuk yang ada di hotel itu daripada tanya ke resepsionis. Dan memang tidak sulit untuk mencari kamar dengan nomor seperti yang tertera di kunci. Singkat cerita aku sudah masuk ke kamar, namun hanya duduk-duduk saja di situ.
Kira-kira 15 menit kemudian terdengar ketukan di pintu kamar, ternyata Tante Kirana. Dia langsung masuk dan duduk di pinggir ranjang.
“Ropik bilang kamu keluar dari tim sepakbola ya?!” tanyanya tanpa ba-bi-bu dengan nada agak tinggi.
“I.. iya tante,” jawabku pelan.
“Kamu juga nggak pernah lagi kumpul sama temen-temen kamu, nggak pernah main lagi sama Ropik,” Tante Kirana menyemprotku yang hanya bisa diam tertunduk.
“Kamu tahu, itu bahaya. Orang-orang dan keluargaku bisa tahu apa yang sudah terjadi.. ,” kata-kata Tante Kirana terputus dan terdengar mulai sedikit sesenggukan.
“Tapi.. saya nggak pernah ngasih tahu siapa-siapa,” kataku.
“Memang kamu belum ngasih tahu, tapi kalau ditanyain terus-terusan bisa-bisa kamu cerita juga,” katanya lagi sambil sesenggukan. “Apa yang terjadi dengan keluarga tante jika semuanya tahu!”
“Tante memang salah, tante yang membuat kamu jadi begitu,” kata Tante Kirana, kali ini agak lirih sambil menahan tangisnya. “Tapi kalau kamu merasakan seperti yang tante rasakan..” terputus lagi.
“Merasakan apa tante?”
Akhirnya Tante Kirana cerita panjang lebar tentang rumah tangganya. Tentang suaminya yang sibuk mengejar karir, sehingga hampir tiap hari pulang malam, dan jarang libur. Tentang kehidupan seksualnya sebagai akibat dari kesibukan suaminya, serta beratnya menahan hasrat biologisnya akibat dari semua itu.
“Kalau kamu mau marah, marahlah. Entah kenapa, tante nggak sanggup lagi menahan dorongan birahi waktu kamu ke rumah minggu kemarin.
Terserah kamu mau menganggap tante kayak apa, yang penting kamu sudah tahu masalah tante. Sekarang kalau mau pulang, pulanglah, tante yang ngongkosin taksinya,” kata Tante Kirana lirih sambil membuka tasnya, mungkin mau mengeluarkan dompet.
“Nggak.. nggak usah tante.. ” aku mencegah. “Saya belum mau pulang, saya nggak mau membiarkan tante dalam kesedihan.
” Entah pengaruh apa yang bisa membuatku seketika bisa bersikap gagah seperti itu. Aku hampiri Tante Kirana, aku elus-elus kepalanya. Hilang sudah perasaan sungkanku padanya. Tante Kirana kemudian memeluk pinggangku dan membenamkan kepalanya dalam pelukanku.
Setelah beberapa lama, aku duduk di samping Tante Kirana. Kuusap-usap dan sibakkan rambutnya. Kusap pipinya dari airmata yang masih mengalir.
Pelahan kucium keningnya. Kemudian, entah siapa yang mulai tiba-tiba bibir kami sudah saling bertemu. Ternyata, kalau tidak sedang merasa sungkan atau takut, aku cukup lancar juga mengikuti naluri kelelakianku.
Cukup lama kami berciuman bibir, dan makin lama makin liar. Aku mulai mengusap punggung Tante Kirana yang masih memakai baju lengkap, dan kadang turun untuk meremas pantatnya. Tante Kirana pun melakukan hal yang sama padaku.
Tante Kirana sepertinya kurang puas bercumbu dengan pakaian lengkap. Tangannya mulai membuka kancing baju seragam SMU-ku, kemudian dilepasnya berikut kaos dalam ku. Kemudian dia melepaskan pelukanku dan berdiri.
Pelan-pelan dia membuka pakain luarnya, sampai hanya memakai CD dan BH. Meskipun aku sudah melihat Tante Kirana telanjang, tapi pemandangan yang sekarang ada di depanku jauh membuat nafsuku bergejolak, meskipun masih tertutup CD dan BH. Aku langsung berdiri, kupeluk dan kudorong ke arah dinding, sampai kepala Tante Kirana membentur dinding, meski tidak begitu keras.
“Ah, pelan-pelan doonnng,” kata Tante Kirana manja diiringi desahannya desahannya.
Aku semakin liar saja. Kupagut lagi bibir Tante Kirana, sambil tanganku meremas-remas buah dadanya yang masih memakai BH. Tante Kirana tidak mau kalah, bahkan tangannya sudah mulai melepaskan melorotkan celana luar dan dalamku.
Kemudian, diteruskannya dengan menginjaknya agar bisa melorot sempurna. Aku bantu upaya Tante Kirana itu dengan mengangkat kakiku bergantian, sehingga akhirnya aku sudah telanjang bulat.
Setelah itu Tante Kirana membantuku membuka pengait BH-nya yang ada di belakang. Rupanya dia tahu aku kesulitan untuk membuka BH-nya. Sekarang aku leluasa meremas-remas kedua buah dada Tante Kirana yang cukup besar itu, sedang Tante Kirana mulai mengelus dan kadang mengocok penisku yang sudah sangat tegang.
Kemudian tante setengah menjambak Tante Kirana mendorong kepalaku di arahkan ke buah dadanya yang sebelah kiri. Kini puting susu itu sudah ada di dalam mulutku, kuisap-isap dan jilati mengikuti naluriku.
“Aaaaahh….. oooouhghhh… ” desahan Tante Kirana makin keras sambil tangannya tak berhenti mempermainkan penisku.
Beberapa kali aku isap puting susu Tante Kirana bergantian, mengikuti sebelah mana yang dia maui. Setelah puas buah dadanya aku mainkan, Tante Kirana mendorong tubuhku pelan ke belakang. Kemudian dia berputar, berjalan mundur sambil menarikku ke arah ranjang.
Sampai di pinggir ranjang, Tante Kirana sengaja menjatuhkan dirinya sehingga sekarang dia telentang dengan aku menindih di atasnya, sementara kakinya dan kakiku masih menginjak lantai. Setelah itu, dia berusaha melorotkan CD-nya, yang kemudian aku bantu sehingga Tante Kirana kini untuk kedua kalinya telanjang bulat di depanku.
Usai melepas CD-nya aku masih berdiri memelototi pemandangan di depanku. Tante Kirana yang telentang dengan nafas memburu dan mata agak sayu menatapku. Gundukan di selangkangannya yang ditumbuhi bulu tidak begitu lebat nampak benar menantang, seperti menyembul didukung oleh kakinya yang masih menjuntai ke lantai.
Bibir vaginanya nampak mengkilap terkena cairan dari dalamnya. (Waktu itu aku belum bisa menilai dan membanding-bandingkan buah dada, mana yang kencang, bropik dan sebagainya. Paling hanya besar-kecilnya saja yang bisa aku perhatikan).
“Sini sayaangg.. ,” panggil Tante Kirana yang melihat aku berdiri memandangi tiap jengkal tubuhnya. Aku menghampirinya, menindih dan mencoba memasukkan penisku ke lubang vaginanya. Tapi, Tante Kirana menahanku. Nampak dia menggeleng sambil memandangku. Kemudian tiba-tiba kepalaku didorong kebawah.
Terus didorong cukup kuat sampai mulutku persis berada di depan lubang vaginanya. Setelah itu Tante Kirana berusaha agar mulutku menempel ke vaginanya. Awalnya aku ikuti, tapi setelah mencium bau yang aneh dan sangat asing bagiku, aku agak melawan.
Mengetahui aku tidak mau mengikuti kemauannya, dia bangun. Ditariknya kedua tanganku agar aku naik ke ranjang, ditelentangkannya tubuhku. Sempat aku melihat bibirnya tersenyum, sebelum di mengangkang tepat di atas mulutku.
“Bleepp… ” aku agak gelagapan saat vagina Tante Kirana ditempel dan ditekankan di mulutku. Tante Kirana memberi isyarat agar aku tidak melawan, kemudian pelan-pelan vaginanya digesek-gesekkan ke mulutku, sambil mulutnya mendesis-desis tidak karuan.
Aku yang awalnya rada-rada jijik dengan cairan dari vagina Tante Kirana, sudah mulai familiar dan bisa menikmatinya. Bahkan, secara naluriah, kemudian ku keluarkan lidahku sehingga masuk ke lubang vagina Tante Kirana.
“Oooohhh… sssshhh… pinter kamu sayang… oh… ” gerakan Tante Kirana makin cepat sambil meracau. Tiba-tiba, dia memutar badannya. Kagetku hanya sejenak, berganti kenikmatan yang luar biasa setelah penisku masuk ke mulut Tante Kirana.
Aku merasakan kepala penisku dikulum dan dijilatinya, sambil tangannya mengocok batang penisku. Sementara itu, vaginanya masih menempel dimulutku, meskipun gesekannya sudah mulai berkurang. Sambil menikmati aku mengelus kedua pantat Tante Kirana yang persis berada di depan mataku.
Setelah puas dengan permainan seperti itu, Tante Kirana mulai berputar dan bergeser. Masih mengangkang, tapi tidak lagi di atas mulutku, kali ini tepat di atas ujung penisku yang tegak.
“Sleep.. blesss… ooooooooooooohhhhhh,” penisku menancap sempurna di dalam vagina Tante Kirana diikuti desahan panjangnya, yang malah lebih mirip dengan lolongan.
Tante Kirana bergerak naik turun sambil mulutnya meracau tidak karuan. Tidak seperti yang pertama waktu di rumah Tante Kirana, kali ini aku tidak pasif. Aku meremas kedua buah dada Tante Kirana yang semakin menambah tidak karuan racauannya.
Rupanya, aksi Tante Kirana itu tidak lama, karena kulihat tubuhnya mulai mengejang. Setengah menyentak dia luruskan kakinya dan menjatuhkan badannya ke badanku.
“Ooooooooohhh…. Aaaaaaaaahhh….. ” Tante Kirana ambruk, terkulai lemas setelah mencapai puncak.
Beberapa saat dia menikmati kepuasannya sambil terkulai di atasku, sampai kemudian dia berguling ke samping tanpa melepas vaginanya dari penisku, dan menarik tubuhku agar gantian menindihnya.
Beberapa saat dia menikmati kepuasannya sambil terkulai di atasku, sampai kemudian dia berguling ke samping tanpa melepas vaginanya dari penisku, dan menarik tubuhku agar gantian menindihnya.
Sekaraang gantian aku mendorong keluar-masuk penisku dari posisi atas. Tante Kirana terus membelai rambut dan wajahku, tanpa berhenti tersenyum. Beberapa waktu kemudian aku mempercepat sodokanku, karena terasa ada bendungan yang mau pecah.
“Tanteeeeee……. Oooooohhh……. ” gantian aku yang melenguk panjang sambil membenamkan penisku dalam-dalam. Tante Kirana menarik tubuhku menempel ketat ke dadanya, saat aku mencapai puncak.
Setelah sama-sama mencapai puncak kenikmatan, aku dan Tante Kirana terus ngobrol sambil tetap berpelukan yang diselingi dengan ciuman. Waktu ngobrol itu pula Tante Kirana banyak memberi tahu tentang seks, terutama bagian-bagian sensitif wanita serta bagaimana meng-eksplor bagian-bagian sensitif itu.
Setelah jam 4 sore, Tante Kirana mengajak pulang. Aku sebenarnya belum mau pulang, aku mau bersetubuh sekali lagi. Tapi Tante Kirana berkeras menolak.
“Tante janji, kamu masih terus bisa menikmati tubuh tante ini. Tapi ingat, kamu harus kembali bersikap seperti biasa, terutama pada Ropik. Dan kamu harus kembali ke tim sepakbola. Janji?”
“He-em,” aku menganggukkan kepala.
“Ingat, kalau kamu tepat janji, tante juga tepat janji. Tapi kalau kamu ingkar janji, lupakan semuanya. Oke?” Aku sekali mengangguk.
Sebelum aku dan Tante Kirana memakai pakaian masing-masing, aku sempatkan mencium bibir Tante Kirana dan tak lupa bibir bawahnya. Setelah selesai berpakaian, Tante Kirana memberiku ongkos taksi dan menyuruhku pulang duluan.
Sejak itu perasaanku mulai ringan kembali, dan aku sudah normal kembali. Aku juga bergabung kembali ke tim sepakbola sekolahku, yang untungnya masih diterima. Dari sepakbola itulah yang kemudian memuluskan langkahku mencari kerja kelak.
Dan Tante Kirana menepati janjinya. Dia benar-benar telah menjadi pasangan kencanku, dan guru sex-ku sekaligus. Paling sedikit seminggu sekali kami melakukannya berpindah-pindah tempat, dari hotel satu ke hotel yang lain, bahkan kadang-kadang keluar kota. Tentu saja kami melakukannya memakai strategi yang matang dan hati-hati, agar tidak diketahui orang lain, terutama keluarga Tante Kirana.
Sejak itu pula aku mengalami perubahan yang cukup drastis, terutama dalam pergaulanku dengan teman-teman cewek. Aku yang awalnya dikenal pemalu dan jarang bergaul dengan teman cewek, mulai dikenal sebagai play boy.
Sampai lulus SMU, beberapa cewek baik dari sekolahku maupun dari sekolah lain sempat aku pacari, dan beberapa di antaranya berhasil kuajak ke tempat tidur. (Lain waktu, kalau sempat saya ceritakan petualangan saya tersebut).
Begitulah kisah awalku dengan Tante Kirana, yang akhirnya merubah secara drastis perjalanan hidupku ke depannya. Sampai saat ini, aku masih berhubungan dengan Tante Kirana, meskipun paling-paling sebulan atau dua bulan sekali.
Meskipun dari segi daya tarik seksual Tante Kirana sudah jauh menurun, namun aku tidak mau melupakannya begitu saja. Apalagi, Tante Kirana tidak pernah berhubungan dengan pria lain, karena dianggapnya resikonya terlalu besar.
Begitulah, Tante Kirana yang terjepit antara hasrat seksual menggebu yang tak terpenuhi dengan status sosial yang harus selalu dijaga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar